Begitupula dunia. Dalam Ihya' Ulumuddin, Imam Ghazali menuliskan, rahasia-rahasia keburukan dunia. Pertama, dapat membinasakan orang-orang yang gemar berhubungan dengan dunia. Lihat saja para raja zalim masa lalu. Atau koruptor pada masa belakangan ini. Oleh M. Taufik download lengkapnya pdf di sini Kebanyakan orang menyangka bahwa banyak sebab yang dapat menimbulkan kematian. Terserang penyakit berbahaya, kecelakaan lalu lintas, tenggelam karena banjir dll. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa tidak tiap orang yang menderita penyakit berbahaya, atau mengalami kecelakaan lalu-lintas, tertimpa gedung runtuh lantas langsung mati, bahkan ada orang yang tadinya mengalami keadaan seperti itu, dokterpun sudah angkat tangan, namun akhirnya ia sehat wal afiat. Sementara orang yang sebelumnya sehat, tiba-tiba meninggal. Ma’âsyiral muslimîn rahîmakumullâh Allah mengabarkan kepada kita bahwa hanya ada satu sebab kematian, yakni datangnya ajal yang telah ditetapkan saatnya oleh Allah SWT. وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلًا “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah sebagai ketetapan yang tertentu waktunya” Ali Imran 145 فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ “Maka jika telah datang ajalnya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat memajukannya” QS. al-A’raf34 Bila ajal seseorang datang, maka saat itulah dia mati, tidak peduli dia siap atau tidak, tidak peduli dia sakit atau sehat, tidak peduli dia tua, muda atau anak-anak. Tidak ada seorangpun yang bisa mencegahnya maupun memajukannya. Ma’âsyiral muslimîn rahîmakumullâh Keyakinan akan kematian seperti ini, merupakan salah satu landasan kekuatan umat Islam. Dengan keyakinan ini mereka tidak akan takut menyuarakan dan membela kebenaran walaupun banyak yang menentang dan mengancamnya, mereka justru berharap kematian mendatanginya saat dia melakukan ketaatan kepada Allah SWT. Khalid bin al Walid sahabat yang telah menghadapi lebih dari 50 pertempuran besar, pernah hanya dengan 3 ribu pasukan menghadapi 200 ribu pasukan musuh dalam perang Mu’tah, pernah hanya dengan 40 ribu pasukan menghadapi 240 ribu pasukan musuh dalam perang Yarmuk, beliau ternyata meninggal dipembaringan, menjelang kematiannya beliau berkata لَقِيْتُ كَذَا وَكَذَا زَحْفاً، وَمَا فِي جَسَدِي شِبْرٌ إِلاَّ وَفِيْهِ ضَرْبَةٌ بِسَيْفٍ، أَوْ رَمْيَةٌ بِسَهْمٍ، وَهَا أَنَا أَمُوْتُ عَلَى فِرَاشِي حَتْفَ أَنْفِي كَمَا يَمُوْتُ العِيْرُ، فَلاَ نَامَتْ أَعْيُنُ الجُبَنَاءِ “Aku menghadapi banyak pertempuran besar, tidak ada satu jengkalpun di tubuhku melainkan ada bekas pukulan pedang, atau lemparan anak panah, dan inilah aku, mati di tempat tidur seperti keledai mati. Maka janganlah tidur mata para pengecut untuk memperhatikan hal ini baik-baik” Siyaru A’lâmin Nubala’, 1/382, Maktabah Syâmilah Ma’âsyiral muslimîn rahîmakumullâh Namun tidak jarang seseorang menganggap bahwa ada selain Allah yang bisa memperlambat kematian, mengggap bahwa usaha dan harta yang dimilikinya itulah yang menjamin kehidupannya. Allah menyinggung mereka dengan menyatakan وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ – الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ – يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya[1], dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, QS. Al Humazah 1 – 3 Ketika harta sudah dianggap mampu menjamin berlangsungnya kehidupan, ketika dalam dada sudah menancap ketakutan akan kematian, maka tidak mengherankan jika akhirnya perjuangan ditinggalkan karena dianggap menghambat penghasilan, kebenaran diabaikan karena dianggap bisa mengancam keselamatan, penerapan syari’ah dan penegakan khilafah tidak diprioritaskan karena dianggap mendatangkan ancaman dan kecaman, akibatnya penjajahpun bebas melenggang menguras kekayaan, mendangkalkan akidah dan keyakinan, merusak tatanan pergaulan, menginjak-injak syari’ah Islam, dan semua itu bisa terjadi tanpa perlawanan yang berarti dari umat Islam. Rasulullah SAW bersabda يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا ، فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ، وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ، وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ، وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمُ الْوَهْنَ ، فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا الْوَهْنُ؟ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا، وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ “Hampir-hampir bangsa-bangsa memperebutkan kalian umat Islam, layaknya memperebutkan makanan yang berada di mangkuk besar.” Seorang laki-laki berkata, “Apakah kami waktu itu berjumlah sedikit?” beliau menjawab “Bahkan jumlah kalian pada waktu itu sangat banyak, namun kalian seperti buih di genangan air. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut kepada kalian dari hati musuh kalian, dan akan menanamkan ke dalam hati kalian Al wahn.” Seseorang lalu berkata, “Wahai Rasulullah, apa itu Al wahn?” beliau menjawab “Cinta dunia dan takut mati.”. HR. Abu Dawud dari Tsauban dg sanad shahih Ma’âsyiral muslimîn rahîmakumullâh Sungguh, kalau direnungkan betul-betul, keyakinan akan datangnya kematian hanya dari Allah, akan mampu mengerem seseorang dari tindak maksiyat, sekaligus mendorong seseorang untuk senantiasa berbuat ta’at, menjadikannya berani menghadapi rintangan apapun sekaligus takut melanggar ketentuan syari’at Allah SWT. Tidak mengherankan jika dalam Tafsir Rûhul Bayân 3/330, disebutkan bahwa Umar menulis di cincinnya كفى بالموت واعظا يا عمر Cukuplah kematian itu menjadi penasihat wahai Umar Semoga Allah SWT menjadikan kita orang-orang yang dapat memanfaatkan sisa hidup kita, umur kita, masa muda kita, sehat kita dengan sebaik-baiknya, sebelumnya semua lenyap dan berakhir. Semoga Allah meneguhkan langkah kita menapaki jalan kebenaran seterjal apapun jalan itu, dengan penuh keyakinan bahwa tidak ada yang mampu memudharatkan kita kecuali atas izin Allah ’azza wa jalla. وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ – اعوذ بالله من الشيطان الرجيم –يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْاَنِ الْعَظِيم، وَنَفَعَنِي وَاِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الاَيَاتِ وَ الذِّكْرِ الحْكِيْم اَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا وَاَسْتَغْفِرُاللهَ الْعَظِيمْ – لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِينَ فَاسْتَغْفِرُوهُ اِنَّهُ هُوَالْغَفُوْرُ الرَّحِيمِ [1] karenanya dia menjadi kikir dan tidak mau menafkahkannya di jalan Allah * pernah saya sampaikan di Masjid Qardhan Hasana Bjb, namun tidak persis seperti yang ini Baca Juga

Kematianadalah salah satu syarat untuk memasuki alam akhirat, karena kehidupan di dunia dan akhirat sangat berbeda. Manusia adalah mahluk yang dapat hidup dengan perantara ruh yang sifatnya hanya sementara, dan jika waktu telah tiba untuk kembali, maka ruh akan kembali pada alam asalnya, yakni alam akhirat.

Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free HAKIKAT ILMU DALA M PERSPEKTIF AL-GHAZALI Y u s l i y a d i Yusliyadi Abstrak Dalam dekade terakhir ini, usaha pengkajian dan pengembangan ilmu pengatahuan dari waktu kewaktu semakin bertambah meningkat, terutama karena adanya kaitan dengan kecendrungan yang semakin tumbuh terhadap pemahaman dan penafsiran ajaran Islam secara rasional. Selain itu juga karena adanya keinginan untuk lebih memperkenalkan khazanah intlektual dan spiritual para cendikiawan muslim masa lampau sebagai suatu sisi lain dari pusaka budaya yang mereka wariskan. Salah satu diantaranya adalah Imam Al-Ghazali yang dikenal dengan gelar hujjatul islam, seorang ulama dan pemikir besar dalam dunia islam yang sangat produktif dalam menulis. Kitab-kitab yang ditulis Al-Ghazali meliputi berbagai bidang ilmu pada zaman itu, seperti Al-Quran, Akidah, ilmu kalam, ushul fikh, tasawwuf, mantiq, falsafah, kebatinan Batiniyah dan lain-lain. Adapun karya yang sangat menumental dan sekaligus membuatnya sangat dominan pengaruhnya dalam pemikiran ummat adalah Tahafut Al-Falsafah, Ihya’ ulumu ad-Din dan al-Munqidz mina’ Dh-Dhalal. Al-Ghazali adalah seorang pemikir besar dalam sejarah pemikiran islam, beliau adalah seorang ahli hukum fikh, filosof dan sufi, dalam pemikiran Al-Ghazali mengakui fase-fase yaitu fase sebelum uzlah, masa uzlah dan sesudah uzlah. Usaha Al-Ghazali dengan sifat kritis beliau berusaha untuk mencari pengatahuan dan kebenaran hakiki termasuk mencari hakikat ilmu. Oleh karena dia memutuska untuk mencari kebenaran yang pasti dimana obyek yang diketahui dalam suatu cara tertentu yang sama sekali tidak memberikan peluang bagi masuknya keraguan, oleh karena itu beliau membagi ilmu menjadi dua. Ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai produk. Al-Ghazali adalah penegak tasawuf baru yang mengkompromikannya dengan fiqih dan teologi. Ketiga bidang itu sebelumnya merupakan bidang-bidang yang tidak pernah bisa bertemu, bahkan dipandang saling bertentangan satu sama lain. Kata kunci Ilmu, Al-Ghazali. A. Pendahuluan Ilmu merupakan hal penting dalam islam. Ia merupakan kebutuhan utama bagi manusia dalam mengemban peran sebagai kholifah di muka bumi ini, tanpa ilmu musthail seorang manusia mampu melangsungkan kehidupan sehari-hari didunia ini dengan baik. Al-Ghazali berpendapat bahwa untuk mendapat kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, seseorang itu hendaklah mempunyai ilmu dan kemudian wajib untuk diamalkan dengan baik dan ikhlas. Keutamaan ilmu tersebut sebenarnya adalah peluang manusia untuk mendapatkan drajat yang lebih baik, dengan dapat menzahirkan existensi manusia itu sendiri. Sedangkan pada hakekatnya kelahiran cara berfikir ilmiah itu merupakan suatu revolusi besar dalam dunia ilmu pengetehuan, karena sebelumnya manusia lebih banyak berfikir menurut gagasan-gagasan magis dan mitologis yang bersifat gaib dan tidak rasional. Dengan cetusan revolusi ilmiah itulah manusia pun mulai sadar bahwa dunia ini dengan segala fenomena-fenomena hidup dan kehidupan di dalamnya merupakan kenyataan-kenyataan obyektif yang dapat diamati dan di geluti secara sistematis dan rasional. Sejak abad ke-17, ilmu pengetahuan empiris berkembang dengan pesat, namun perkembangan itu juga membawa dampak negatif, yaitu dengan mundurnya refleksi filosofis ilmu. Metode ilmu eksekta seringkali diterapkan secara tidak relevan pada bidang penyelidikan yang sebenarnya memerlukan metode yang khas. Akhirnya alternatife dalam metodologi untuk mengimbangi pendekatan timpang emperistis-positivistis yang cenderung luput menangkap dimensi penghayatan manusia. Dalam kenyataannya makin banyak manusia, semakin banyak pula pertanyaan dan problematka keilmuan yang menyelimutinya. Manusia ingin mengetahui darimana dan bagaimana proses munculnya ilmu pengetahuan asal mula akunya sendiri, perihal nasibnya, perihal kebebasannya serta kemungkinan-kemungkinan. Orangpun semakin tidak puas dengan ilmu yang ada dan mereka terus mencari apakah hakikat ilmu itu, untuk apa dan bagaimana orang agar sampai kepada ilmu. Hal inilah yang melatar belakangi munculnya filsafat sains yang bidang kajiannya tentu saja berbeda dengan kajian filsafat secara umum. Dengan argumen-argumen di atas manusiapun menyadari bahwa sains modern bukanlah satu-satunya pilihan mencari jawaban dari setiap pertanyaan keilmuan yang muncul. Dengan paradigma yang berbeda dapat diciptakan sains yang berbeda yang mungkin lebih membahagiakan manusia. Sejarah sains juga telah membuktikan dalam peradaban Mesir, Cina dan Islam sendiri pernah ada suatu sistem pengetahuan yang mampu memenuhi kebutuhan manusia-fisik, mental, dan spiritual dengan bersandar pada paradigma yang diyakini kebenarannya yang telah terbukti di mulailah gerakan pencarian alternatif-alternatif hakikat ilmu itu. B. Al-Ghazali dan Latar Belakang Kehidupannya Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, lahir pada tahun 1059 di Ghazaleh suatu kota kecil yang terletak di dekat arus khurasan. Di masa mudanya ia belajar di Nisyapur kemudian ke khurasan yang pada waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid imam al-Haramain al-Juwaini Guru besar pada Madrasah al-Nizamain adalah keluarga pemintal benang Wol Ghazali Shuf. Pada masa kanak-kanak beliau belajar fiqh di Tus pada Imam Al-Razkani, kemudian beliau pindah untuk belajar teologi, logika dan filsafat di Naisabur. Ia kemudian memperdalam ilmunya pada Madrasah Nizamiyyat di Bagdad di bawah bimbingan Imam Haramain. Pada Madrasah ini al-Ghazali mengkaji berbagai ilmu pengetahuan. Ia kemudian di angkat sebagai pemimpin Madrasah tersebut setelah Gurunya meninggal dunia dan tetap di sana selama empat tahun. Ayahnya juga seorang sufi yang sangat wara’ dan meninggal ketika al-Ghazali berusia muda. Sebelum meninggal ia menitipkan al-Ghazali kepada sufi lain untuk memperoleh bimbingan. Untuk menambah pengalamannya al-Ghazali meninggalkan jabatannya sebagai Guru dan mengembara ke Siria, Mesir dan Mekkah, tetapi akhirnya kembali ke Naisapur selanjutnya ke Tus tempat kelahirannya. Di sanalah ia meninggal pada tanggal 14 jumadil Akhir pada tahun 505 H./9 januari 1111 M. Sebelum wafat yakni ketika beliau berada di Bagdad, ia selain mengajar juga memberikan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan Bathiniyah, kaum Islamiyah dan para filosof. Pada saat itu \pulalah al-Ghazali senantiasa di bayangi oleh keraguan-keraguan terhadap apa yang pernah di ikhtiarkan sehingga ia pun mengidap penyakit yang tidak bisa diobati, ia kemudiann meninggalkan pekerjaanya dan berangkat ke Damsyik. Di kota inilah Mahdi Ghulsyani, The holy Qur’an and the Science of Nature, diterjemahkan Agus Efendi dengan judul Filsafat Sains menurut Al-Qur’an, Bandung Mizan, 1991, 21. Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta Bulan Bintang, 1978, 41. Mahmud Qasim, Dirsat Al-Falsafat al-Islamy, Qairo Dar al-Ma’rif, 1997, 38. Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta Bulan Bintang, 1996, 97-98. ia memperoleh inspirasi dan membuka jalan baginya untuk memilih jalan ber-uzlah sebagai cara terbaik dalam menapaki kehidupan jalan uzlah inilah al-Ghazali akhirnya memperoleh berkas cahaya dari Tuhan yang menentramkan jiwanya. Dia menemukan jalan hidup yang ia yakini dan dirasakannya penuh dengan kedamaian, yakni tasawuf. Al-Ghazali tidak lagi mengandalkan akal semata-mata, tetapi di samping tetap menghargai akal sebagai karunia Tuhan juga ada berupa nur yang dilimpahkan kepada hambanya yang bersungguh-sungguh mencari kebenaran. Bagi al-Ghazali akal kadang kala menyeret seseorang kepada pemahaman yang menyesatkan apabila tidak di landasi iman yang kian hari semakin tekun beribadah dan berupaya untuk tidak terpengaruh dengan berbagai kesenangan duniawi dan segala tanda-tanda kebesaran. Ia bertahan dalam hidup dan dalam suasana yang serba kekurangan, larut dalam hidup kerohanian dan senantiasa mengutamakan kepentingan ukhrawi. Dialah orang pertama dalam filsafat sufistik dan tokoh pembesar pembela Aqidah Islam. Setelah berkhalawat di tanah suci dan memperoleh apa yang dia cari ia berusaha untuk menyumbangkan segenap tenaga dan pikirannya membela agamanya dari paham-paham Hakikat Ilmu Mengenai hakikat ilmu secara mutlak tidak dikaitkan dengan objek atau disiplin ilmu tertentu, para ulama islam atau para pakar berbeda pandangan apakah ia merupakan sesuatu yang daruri, a priori, yang dapat dikonsepsi sifatnya begitu saja sehingga tidak memerlukan definisi, atau nazari infrensial, tetapi sulit mendefinisikannya, melainkan hanya bisa lebih jelas dikonsepsi dengan analisis/klasifikasi dan contoh, atau nazari yang tidak sulit ulama Bayaniyyun mengakui sulitnya pendefinesian ilmu, sebab ternyata dikalangan mereka sendiri bermunculan aneka definisi dan masing-masing hanya membenarkan definisinya sendiri. Definisi-definisi terkuat adalah sebagai berikut. Poerwantana, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung CV. Rosda Karya Karya, 1988, 166. Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Filsafat dalam Islam, Jakarta Bumi Aksara, 1991, 68. Endang Daruni Asdi & A. Husnan Aksa, Filsuf-Filsuf Dunia dalam Gambar, Yogyakarta Karya Kencana, Cet. I, 1981, 18. Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Demensi Ontologi dan Aksiologi, Bandung CV. Pustaka Setia, 2007, 89. 1. Definisi Ibnu Rusyd 520-595 H/ 1126-1198 M  Artinya Sesungguhnya ilmu yaqini adalah mengetahui sesuatu sebagaimana realitasnya Definisi Ibnu Hazm 384-456 H/ 924-1064 M  Artinya Ilmu adalah meyakini sesuatu sebagaimana ralitasnya Definisi Juwaini 419-478 H dan Baqilani keduanya dari Asy’ariyah, dan Abu Ya’la dari Hanabilah sebagai berikut  Artinya Ilmu adalah mengatahui objek ilmu sesuai Definisi Mu’tazilah  Artinya Ilmu adalah mengitikadkan mempercayai sesuatu sesuai dengan kenyataannya disertai ketenangan dan ketetapan jiwa padanya bila ia muncul secara daruri atau nazari. Seperti dirumuskan Abd. Al-Jabbar bahwa Ilmu adalah  Artinya Apa yang menghasilkan ketenangan jiwa, kesejukan dada, dan ketentraman Definisi para filosof kuno  Artinya Ilmu adalah terhasilkannya gambar sesuatu pada akal, sama saja apakah sesuatu itu merupakan universal atau partikuler, baik ada maupun Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Bairut Dar al-Fikr al-Lubnani, 1993, 296. Ibn Hazm, Ali Ibn Ahmad, Al-Ihkam fiUsul al-Ahkam,BairutDar Al-Kutub al-Ilmiyah, 38. Al-Juwaini, Al-Irsyad, Mesir Matba’ah al-Madani, 1983, 12-13. Ibid., 14. 6. Definisi Asy-Syaukani w. 1255 H, dari family Zaidi yang didukung Qannuji, sebagai berikut  Artinya Ilmu adalah sifat yang dengannya apa yang dicari terbuka secara sempurna. 7. Sedangkan Eko Ariwidodo Dosen tetap mata kuliah ilmu logika, filsafat ilmu, dan hermeneutika di TBI IAIN Madura, berasumsi bahwa ilmu atau sains itu hanya berurusan semata-mata dengan fakta tidak mendapat dukungan dari praktek sains itu beberapa pandangan tentang pengertian ilmu diatas Al-Ghazali berpendapat bahwa makna lebih penting ketimbang lafazh, oleh karena itu Al-Ghazali menguraikan tiga definisi tentang ilmu tersebut, yaitu definisi esensial haqiqi, definisi formal-differensial rasmi, dan definisi redaksional-eksplanatif lafzi. Karena fungsi dan tujuan difenisi adalah memperjelas apa yang belum jelas, ia hanya diperlukan untuk mengonsepsi sesuatu yang tidak dapat dikonsepsi secara a priori seperti satuan makna simple. Ia tidak menegaskan apakah pengonsepsian hakikat ilmu itu a priori atau inferensial, tetapi ditegaskannya bahwa hakikat ilmu sulit didefinisikan secara hakiki, baik karena esensi, fungsi dan persyaratan definisi sendiri, maupun karena pendifenisian hakikat ilmu selalu terkait dengan konsep ontologis pembuatnnya. Dan bagi Al-Ghazali, ilmu secara subtansial hanya satu tidak ada pemisahan pada ilmu lahir dan ilmu batin, kecuali dari segi itu, menurutnya dan menurut Al-Juwaini, pengonsepsian hakikat ilmu lebih mudah dengan analisis/klasifikasi untuk memproleh makna formal, dan dengan contoh untuk memproleh makna esensial. Dengan analisis ilmu berbeda dengan iradah kehendak, qudrah kemampuan dan sifat jiwa lain, Dan berbeda dengan I’tiqad presuposisi, zann dugaan kuat, syak skeptik, jahl ketidak tahuan dan apa yang diperoleh bukan dengan pembuktian dan berawal dari skeptik. Jika ilmu dengan syak dan zann karena pada dua yang terakhir tidak dapat Ja’far Al-Sahbani, Nazariyyat al-Ma’rifah Bairut al-Dar Al-Islamiyah, 1990, 20. Eko Ariwidodo, Pradigma Reduksionisme Epistemik dalam Rekayasa Genitika, ejournal Al-Ghazali , al-Mustofa min Ilm al-Usul, Bairut Dar al-Fikr, jld. I, 145. kepastian jazm ia berbeda dengan I’tiqad dalam arti memastikan lebih dahulu satu dari dua alternatif dalam posisi yang sebenarnya posisi skeptik, disertai tasawwuf bersitegguh padanya tanpa menyadari kemungkinan benarnya alternatif lain. I’tiqad dalam arti ini, presuposisi sekalipun sesuai denga realitas objek substansinya sendiri merupakan salah satu bentuk jahl kebodohan, maskipun dari sudut relasinya dengan objek bisa berbeda dengan jahl, yakni bila sesuai dengan realitas objek. Dengan demikian hakikat ilmu tidak cukup hanya dengan sesuianya kepercayaan atau pernyataan denga realitas objek, tapi juga mengenai ilmu infrensial, harus berdasarkan metode ilmiah tertentu yang berpangkal pada skeptik dan putusan itu merupakan keyakinan yang pasti. Metode analitik dengan ketiga kriteria ilmu menyangkut aspek aspek ontologies, epistimologis dan aksiologis yang diajukan Al-Ghazali dan inilah yang diikuti dan dirumuskan Ar-Razi bahwa ilmu adalah putusan akal yang pasti dan sesuai dengan realitas objek berdasarkan metode ilmiah mujib menurutnya ada dua jalan untuk memperoleh ilmu, yaitu jalan a prori yang berupa akala a priori badihat al-aql dan empiri sensual dasar awa’il al-hasisi, dan penalaran berdasarkan premis-premis yang berakar palan a priori. Akan tetapi, ia mengakui bahwa ilmu diperoleh pula dengan dengan cara mengikuti orang yang diperintahkan Alloh untuk diikuti, maskipun bukan ilmu a priori dan tanpa argument, sehingga yang mengiktikadkan dan menyatakan sudah memiliki ilmu dan ma’rifah mengenai objek tersebut. Karena pernyataan yang pasti dari subjek selain Nabi tentang wahyu yang diterima Nabi dan sesuai dengan realitas wahyu dan Nabi sendiri berdasarkan metode ilmiah tersebut juga disebut ilmu, sedangkan yang yang tanpa argument adalah I’tikad, dan yang tidak pasti adalah zann atau Al-Ghazali, ada tiga macam tasdiq assent secara gradual. Pertama zann dugaan kuat, yaitu kecondongan jiwa kepada salah satu dari dua perkara dengan mengakui kemungkinan sebaliknya, tetapi kemungkinan ini tidak menghalangi kecondongan pada yang pertama. Al-Ghazali , al-Mustofa min Ilm al-Usul, 133. Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Demensi Ontologi dan Aksiologi, 97. Kedua I’tiqad jazim kepercayaan yang teguh/tetap, yaitu tasdiq yang pasti, yaitu seseorang tidak ragu dan tidak merasa adanya kemungkinan benar pada kepercayaan lain. Akan tetapi, bila kepercayaan sebaliknya itu diriwayatkan secara kuat dari manusia yang paling pintar dan terpercaya disisinya, seperti Nabi, hal itu menimbulkan keragua tertentu terhadap kepercayaannya. Inilah kepercayaan yang mayoritas kepercayaan mayoritas masyarakat awam dari kalangan muslimin, yahudi dan nashrani mengenai doktrin-doktrin keagamaan dan mazhabnya bahkan mayoritas kepercayaan ahli kalam mengenai doktrin-doktrin keagamaan dan argument-argumen dialektik atau apologetiknya yang mereka terima berdasarkan prasangka baik dan popularitas tokoh-tokohnya, serta penulakan secara a priori terhadap mazhab lain dan dibesarkan dalam tradisi ini sejak masa kanak-kanak. Ketiga ilmu yaqini, yaitu tasdiq yang kebenarannya diyakini secara pasti, disertai keyakinan yang pasti pula bahwa keyakinannya yang pasti itu benar, yakni keduanya tidak mengandung kemungkinan lupa, salah atau bahkan keliru, dan tak terbayang pendapatnya akan berubah dengan alasan apapun. Kalaupun diinformasikan pernyataan yang berlawanan dari nabi, misalnya, dengan bukti kesalahan adalah mukjizatnya, hal ini tidak mempengaruhi pendapatnya, melainkan membuatnya menertawakan, membodohkan, mendustakan, dan menyalahkan pembawa informasi atau nabi palsu itu. Jika masih terlintas dibenaknya kemungkinan bahwa Alloh menjadikan nabi-Nya mampu melihat rahasia yang berlawanan dengan pendapat orang itu, putusannya itu bukahlah ilmu yaqini. Ilmu macam ini misalnya ilmu-ilmu a priori, misalnya bahwa sebagian lebih kecil dari keseluruhan, seseorang tidak berada didua tempat pada waktu yang sama, dan hukum-hukum kontradiksi lain, serta ilmu-ilmu yang diperoleh dari bukti-bukti yang menimbulkan keyakinan yang pasti seperti itu, dengan mengatakan zann hanya bisa diakui dalam dunia dan disiplin ilmu praksis amal dan ilmu amali, seperti ilmu fiqih dan ilmu-ilmu empirik-eksperimental tarbiyah, iman keyakinan keagamaan terbagi tiga kelas srecara gradual, yaitu iman awam, yang berdasarkan taqlid murni mengekor/ikut tanpa argument, iman mutakallimin, yaitu didukung oleh semacam argument, dan Al-Ghazali , al-Mustofa min Ilm al-Usul, 43. iman arifin yang memiliki ma’rifah, yaitu dengan berdasarkan mukasyafah penyingkapan dan musyahadah penyaksian melalui riyadhah latihan spiritual dan mujahadah perjuangan drajad tasdiq/iman ini diumpamakan dengan tasdiq terhadap adanya si Zaid dirumah. Drajad pertama dicapai berdasarkan taqlid semata kepada orang yang menginformasikan hal itu, yang dipercayai berdasarkan pengalaman bahwa ia benar. Demikian iman awam yang memeluk agama warisan dari orang tua atau guru. Disini muslim sama saja dengan umat Yahudi dan Nashrani dari sudut mempercayai sesuatu tanpa argument. Hanya saja, mereka mempercayai yang salah, sedangkan muslim mempercayai yang benar. Drajat kedua, kita mendengar pembicaraan dan suara si Zaid dari dalam rumah sedangkan kita diluar rumah, sehingga kepercayaan kita lebih kuat ketimbang semata-mata berdasarkan informasi orang lain. Akan tetapi hal ini masih mengandung kemungkinan salah, sebab suara kadang bermiripan, maskipun kita tidak menyadarinya. Drajad ketiga, kita masuk kedalam rumah sehingga menyaksikan si Zaid secara langsung dengan mata kepala sendiri musyahadah. Inilah ma’rifah haqiqiyah penyaksian yang meyakinkan, yang mustahil mengandung kemungkinan salah. Drajad inipun gradual, sperti terangnya cahaya, kuatnya konsentrasi dan macam itulah ilmu yaqini yang dicari Al-Ghazali dan menjadi puncak dari filsafat ilmunya, sperti dinyatakan sebagai berikut  Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Demensi Ontologi dan Aksiologi, 97. Ibid., 99. Artinya Lalu aku berkata dalam diriku pertama-tama apa yang kucari adalah ilmu tentang hakikat segala sesuatu. Maka haruslah lebih dahulu mengatahui apa itu hakikat ilmu. Lalu, tampakkah kepadaku bahwa ilmu yaqini adalah sesuatu yang dengannya objek ilmu terbuka dengan keterbukaan yang tidak mengandung keraguan dan kemungkinan salah serta wahm estimasi. Kalbu mimang sulit untuk menentukan hal itu, tetapi rasa aman dari kesalahan harus menyertai keyakinan sedemikian rupa, sehingga kalaupun ia dinyatakan salah oleh seseorang yang mampu mengubah batu menjadi emas, atau mengobah tongkat menjadi ular, misalnya, hal ini tidak menimbulkan sedikitpun keraguan atau kemungkian salah dalam diriku. Sebab, bila aku mengatahui bahwa 10 lebih banyak dari 3, lalu orang lain mengatakan, tidak, melainkan 3 lebih banyak dari 10, dengan bukti bahwa aku bisa mengubah tongkat ini menjadi ular dan kusaksikan memang terbukti demikian, hal itu tidak menggoyahkan ma’rifah-ku dan tidak menghasilkan apa-apa dalam diriku selain kekaguman atas kemampuannya mengenai hal itu. Adapun skeptik dalam diriku tidak. Kemudian aku tahu bahwa setiap sesuatu yang tidak aku ketahui dengan cara seperti ini, dan aku tidak meyakininya dengan tingkat kepastian sperti ini, adalah ilmu tak dapat dipengangi dan tidak dapat menimbulkan rasa aman, sedang setiap ilmu yang tidak dapat menimbulkan rasa aman bukanlah ilmu analitik dengan ketiga kereteria ilmu yang diajukan Al-Ghazali di atas sebenarnya merupakan refleksi pemikiran khususnya logika, para filosof sebelumnya sperti Alfarabi dan Ibnu Sina. Dan atas jasa Al-Ghazali-lah metode analitik dan klasifikasi kedalam ilmu, I’tiqad, zann, syak, wahm lawan zann dan jahl. Menjadi popular dan kokoh dalam kultur keilmuan islami sesudahnya, baik dalam ilmu kalam atau ilmu ushul fiqh dari berbagai mazhab. D. Penutup 1. Kesimpulan Al-Ghazali hidup ketika suasana pemikiran keagamaan dan kefilsafatan di dunia Islam memperlihatkan perkembangan dan keragaman, khususnya mengenai keragaman ilmu pengetahuan. Sejarah hidupnya menunjukan bahwa ia dalam usahanya mencari kebenaran menempuh proses yang panjang dengan mempelajari hampir seluruh sistem dan metode pemikiran pada masanya. Bagi al-Ghazali pengetahuan yang diperoleh melalui akal bisa saja salah karena pengetahuan yang di peroleh akal berhubungan dengan al-hiss dan al-wahm semata. Al-Ghazali menolak teori kausalitas para filosof, tetapi menerima metode demostratif mereka sebagai alat yang penting bagi pencapaian kepastian rasional dalam berbagi ilmu pengetahuan. Al-Ghazali, al-Munqis min al-Dalal, Mesir Maktabah wa Marba’ah, 1952, 10. Bagi al-Ghazali bukan ilmu namanya kalau tidak membawa ketenangan dan kedamaian baik pada dirinya dan pada masyarakat luas. Daftar Pustaka Ghulsyani, Mahdi. The holy Qur’an and the Science of Nature, diterjemahkan Agus Efendi dengan judul Filsafat Sains menurut Al-Qur’an, Bandung Mizan, 1991. Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta Bulan Bintang, 1978. Qasim, Mahmud, Dirsat Al-Falsafat al-Islamy, Qairo Dar al-Ma’rif, 1997. Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta Bulan Bintang, 1996. Poerwantana, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung CV. Rosda Karya Karya, 1988. Ali, Yunasril, Perkembangan Pemikiran Filsafat dalam Islam,Jakarta Bumi Aksara, 1991. A. Husnan Aksa, & Endang Daruni Asdi, Filsuf-Filsuf Dunia dalam Gambar, Yogyakarta Karya Kencana, Cet. I, 1981. Anwar, Saeful, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Demensi Ontologi dan Aksiologi, Bandung CV. Pustaka Setia, 2007. Rusyd, Ibnu. Tahafut al-Tahafut, Bairut Dar al-Fikr al-Lubnani, 1993. Ali Ibn Ahmad, Ibn Hazm, Al-Ihkam fiUsul al-Ahkam, BairutDar Al-Kutub al-Ilmiyah, Al-Juwaini, Al-Irsyadd. Mesir Matba’ah al-Madani, 1983. Al-Sahbani, Ja’far. Nazariyyat al-Ma’rifah, Bairut al-Dar Al-Islamiyah, 1990. Ariwidodo, Eko. Pradigma Reduksionisme Epistemik dalam Rekayasa Genitika, ejournal Al-Ghazali, al-Munqis min al-Dalal,Mesir Maktabah wa Marba’ah, 1952. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this holy Qur'an and the Science of Nature, diterjemahkanMahdi GhulsyaniGhulsyani, Mahdi. The holy Qur'an and the Science of Nature, diterjemahkanDirsat Al-Falsafat al-Islamy, Qairo Dar al-Ma'rifMahmud QasimQasim, Mahmud, Dirsat Al-Falsafat al-Islamy, Qairo Dar al-Ma'rif, Beluk Filsafat IslamDkk PoerwantanaPoerwantana, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung CV. Rosda Karya Karya, 1988. AlGhazali memandang bahwa jiwa paska kematian akan kembali kepada badan materi ini; dalam kondisi seperti ini apabila ia memiliki iman dan amal saleh di dunia maka ia akan memperoleh kenikmatan material dan spiritual secara sempurna. Rasulullah ﷺ bersabdaمَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ وَيُلْهِمْهُ رُشْدَهُ“Orang yang dikehendaki baik oleh Allah, maka ia akan dipandaikan di dalam urusan agama dan ia akan diberi ilham petunjuk kebenaran oleh Allah” HR. al-BukhariItulah sabda Baginda Nabi Muhammad ﷺ dalam menjelaskan betapa ilmu agama penting bagi kehidupan manusia. Dari hadits di atas, sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang diberi pemahaman tentang ilmu agama maka ia akan meninggal dalam keadaan husnul khatimah, sebagai bentuk pembuktian akan kebenaran sabda Nabi ilmu agama dalam kehidupan manusia tak ubahnya seperti pengaruh makan dan minum bagi mereka. Imam al-Ghazali, di dalam kitab Ihyâ’ Ulûmid Dîn menyampaikan betapa pentingnya ilmu bagi hati seorang manusia. Di sana, beliau menyitir dawuh dan pernyataan sebagian ulama. Beliau berkataقال فتح الموصلي رحمه الله أليس المريض إذا منع الطعام والشراب والدواء يموت؟ قالوا بلى. قال كذلك القلب إذا منع عنه الحكمة والعلم ثلاثة أيام يموت“Di hadapan para muridnya Fath al-Mushili rahimahullah berkata, Bukankah akan mati jika ada orang sakit yang tidak mendapatkan makan, minum, dan obat ?’ Mereka pun menjawab, “Iya benar, akan mati.’ Begitu juga hati, ketika tidak mendapatkan hikmah dan ilmu selama tiga hari, maka hati akan mati,’ lanjut beliau.”Imam al-Ghazali membenarkan apa yang dikatakan Fath al-Mushili. Karena sesungguhnya makanan hati adalah ilmu dan hikmah. Dengan keduanyalah hati bisa hidup. Sebagaimana badan akan hidup jika makan. Tidak mendapatkan ilmu menyebabkan hati seseorang dalam keadaan sakit dan pasti akan mati, meskipun ia tidak dunia dan kesibukan duniawi bisa membuat orang tidak merasakan hal tersebut. Sebagaimana kondisi sangat ketakutan atau mabuk, red akan bisa “menghilangkan” sakitnya luka yang berat. Kemudian, ketika kematian telah melenyapkan urusan-urusan duniawi dari dirinya, maka baru dia merasakan bahwa dirinya dalam keadaan rusak dan baru dia sangat menyesal. Penyesalan pascakematian ini tentu tidak ada gunanya lagi. Sama seperti orang yang sudah aman dari ketakutannya atau orang yang sudah sadar dari mabuknya, ia baru merasakan luka-luka yang ia alami saat mabuk atau saat kita berlindung kepada Allah ﷻ dari hari terbukanya tirai semua amal. Karena sesungguhnya manusia masih dalam keadaan tertidur. Ketika meninggal dunia, maka mereka baru terbangun dari tidurnya. Imam Muhammad al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûmid Dîn, Beirut, Dar al-Fikr, juz I, halaman 8Terdapat berbagai pemahaman di kalangan para ulama terkait dengan maksud dari kata al-hikmah yang tercantum di dalam Al-Qur’an seperti firman Allah ﷻيُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ “Allah memberikan hikmah kepada orang yang Ia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, maka sesungguhnya ia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak menerima pengingat kecuali orang-orang yang memiliki akal sempurna.” QS Al-Baqarah 269Baginda Nabi Muhammad ﷺ juga pernah bersabdaالْحِكْمَةُ يَمَانِيَّةٌ“Hikmah adalah Yaman.” HR. at-TirmidziAda yang berpendapat maksud dari al-hikmah adalah amal. Ada juga yang berpendapat maksudnya adalah setiap sesuatu yang mencegah dari perbuatan bodoh dan perbuatan jelek. Dan masih banyak lagi pendapat ulama tentang maksud dari kata al-hikmah. Muhammad ibn Qasim ibn Muhammad ibn Zakur al-Fasi, Zuhr al-Akam fi al-Amtsal, halaman 7 Terkait tentang maksud dari kata al-hikmah ini, al-Ghazali berkata di dalam kitab Ihyâ’-nyaونعني بالحكمة حالة للنفس بها يدرك الصواب من الخطأ في جميع الأفعال الاختيارية“Yang saya kehendaki dengan kata al-hikmah adalah kondisi hati yang bisa menjadi sarana mengetahui yang benar dan yang salah dalam semua perbuatan yang kita pilih. Imam Muhammad al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûmid Dîn, Beirut, Dar al-Fikr, juz III, halaman 3Wallahu a’lam. Moh. Sibromulisi Kematianmerupakan fenomena yang tidak terelakkan bagi semua makhluk, termasuk manusia. 43 Tahapan untuk Mengenali Hakikat Diri dan Tuhan. Tentunya, tujuan hidup yang sejati adalah meraih ridha Allah SWT. Petuah-petuah Imam al-Ghazali di dalam buku ini dapat menjadi pengingat bagi orang-orang dalam mengarungi kehidupan di dunia ini.

JURNAL PALOPO - Kematian adalah sesuatu yang misterius yang tidak diketahui kapan datangnya. Bisa saja hari ini, besok atau hari yang akan datang. Meski misterius, namun setiap orang meyakini bahwa hari itu akan datang. Oleh karena itu, ada baiknya seseorang menyiapkan diri dengan bekal yang banyak. Tetapi sayangnya, manusia sering lupa dan tidak mengingat sesuatu yang pasti ini. Banyak yang sering terlena dengan gemerlap dunia yang singkat. Jika itu terjadi Anda perlu paham hakikat kematian dalam Al-Qur'an dan Hadist. Baca Juga Trik Membersihkan Minyak dan Kerak Mengendap di Wajan dengan Bahan Rumahan Bahkan hidup tak lagi dilandasi oleh niat ibadah, tetapi hanya untuk mengejar perhiasan duniawi yang semuanya serba semu. Allah mengingatkan dalam surah Al-Anbiya ayat 35, bahwa “Setiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati dan Kami menguji kalian dengan kejelekan dan kebaikan sebagai satu fitnah ujian dan hanya kepada Kami-lah kalian akan dikembalikan.” Dalam surah An-nisa ayat 78 juga disebutkan, “Di mana saja kalian berada, kematian pasti akan mendapati kalian, walaupun kalian berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” Baca Juga Sinopsis Ikatan Cinta, 6 Mei 2021, Aldebaran Masih Tidak Percaya Reina Adalah Anak Nino Oleh karena itu, ketika seseorang membicarakan perihal kematian, maka ia sedang mengingatkan dan memberi peringatan bahwa kelak setiap manusia akan kembali ke hadirat-Nya.

G Hakikat manusia menurut Imam Al-Ghazali Secara filosofis, memandang manusia berarti berpikir secara totalitas tentang diri manusia itu sendiri, struktur eksistensinya, hakikat atau esensinya, pengetahuan dan perbuatannya, tujuan hidupnya, dan segi-segi lain yang mendukung, sehingga tampak jelas wujud manusia yang sebenarnya. Ilustrasi fungsi hati dan akal menurut Imam Al Ghazali. Foto adalah mahkluk yang memiliki derajat tinggi dibandingkan makhluk lain. Hal tersebut karena manusia memiliki pikiran dan budi pekerti dalam akal dan hatinya. Akan tetapi banyak manusia yang kesulitan dalam memahami makna keduanya. Akibatnya adalah manusia akan lebih condong dalam salah satu sisi. Padahal sejak dahulu para ulama sudah menjelaskan hubungan antara hati dan akal, misalnya Imam Al Ghazali. Berikut hakikat hubungan antara hati dan akal menurut Imam Al Imam Al GhazaliM. Kamalul Fikri, dalam bukunya berjudul Imam Al-Ghazali 202213, Al-Ghazali atau Algazel merupakan sebutan populer untuk Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad at-Thusy. la kemudian juga dikenal dengan nama kunyah Abu Hamid yang berarti bapak Hamid. Namun demikian, kunyah tersebut tidak pasti berarti bahwa Al-Ghazali memiliki anak laki-laki yang diberi nama Hamid. Data yang ditemukan menunjukkan bahwa hanya putri-putri Al-Ghazali yang hidup sampai ia meninggal. Selain itu, Al-Ghazali juga memiliki beberapa nama julukan, yakni Al-Imam, Hujjatul Islam, Zainul 'Abidin, A'jubah az-Zaman, dan Al Ghazali lahir pada 450/1058, yakni sekitar empat setengah abad setelah Nabi Muhammad SAW hijrah dari Makkah ke Madinah, dan sekitar tiga puluh tahun setelah Dinasti Seljuk menduduki Baghdad. Abu Hamid lahir di Kota Thus, Provinsi Khurasan, Persia Iran, sebuah kota miskin yang disebabkan kekeringan panjang sehingga penduduknya pun mengalami kelaparan selama beberapa tahun. Al-Ghazali diketahui dimakamkan Tabiran, Qasabah, Hati dan Akal Menurut Imam Al GhazaliHati berasal dari bahasa Arab qal-bun yang artinya jantung. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, jantung adalah bagian tubuh yang menjadi pusat peredaran darah letaknya di dalam rongga dada sebelah atas.Definisi hati menurut Imam Al-Ghazali memiliki dua definisi, yakniDefinisi hati pertama sebagai hati fisik yaitu daging yang berbentuk seperti buah shanaubar bentuk bundar memanjang yang terletak di bahagian kiri dada yang mana di dalamnya terdapat rongga-rongga yang menyalurkan darah hitam dan berperanan sebagai sumber nyawa manusia. Definsi hati yang pertama ini wujud pada hewan dan juga pada manusia yang telah hati kedua ditakrifkan hati sebagai hati spiritual yaitu sesuatu yang bersifat halus lathifah dan bersifat ketuhanan rabbaniyyah. Hati dalam definisi kedua ini menggambarkan hakikat diri manusia yang mana hati berfungsi untuk merasai, mengenali dan mengetahui sesuatu perkara atau ilmu. Menurut beliau, hati fisik sangat berkait dengan hati spiritual. Namun, beliau tidak mengulas panjang berkenaan hubungan hati fisik dengan hati spiritual kerana itu termasuk di bawah ilmu akal berasal dari bahasa Arab al-aql yang bersumber dari kata kerja ain, qaf, dan lam yang artinya meningkat dan menawan. Kata al-aql juga sama dengan al-idrak kesadaran, dan al-fikr pikiran, al-hijr penahan, al-imsak penahanan, al-ribat ikatan, al-man’u pencegah, dan al-nahyu larangan.Menurut Imam Al Ghazali, akal merupakan salah satu substansi imaterial yang menunjuk esensi manusia. Akal adalah sesuatu yang halus yang merupakan hakikat manusia, sama dengan al-qalb, al-nafs, dan al-ruh, yang berbeda hanya namanya saja, bahkan akal adalah entitas jiwa yang terlibat dengan inteligensia yang dalam hal ini ia bisa juga disebut dengan intelek’.Ilustrasi hati dan akal berdasarkan wahyu Allah SWT. Foto Hati dan Akal Menurut Imam Al GhazaliImam Al Ghazali menyebutkan hati sebagai akal berlandaskan Al-Quran dan hadits. Sebagaimana firman Allahلَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَاArtinya, “Mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami” QS. Al-HajjL 46Akal maupun hati adalah satu entitas yang sama namun kedua istilah ini mempunyai karakteristik yang membedakan satu sama lain. Hati juga menerima kebenaran namun dalam urusan spiritual, sedangkan akal terbatas dalam urusan inteligensia. Ketika akal hanya berurusan dalam persoalan rasional-empiris, hati lebih menekankan pada sisi rasional-emosional-spiritual untuk memahami fenomena alam dan ayat-ayat Allah. Perbedaan kemampuan ini sejatinya untuk menggapai dua dimensi alam yang berbeda, yaitu alam indra alam syahadah dan alam supernatural alam malakut atau alam ghaib.Selanjutnya, kemampuan hati dalam menjangkau alam metafisik selalu didukung oleh pengetahuan akal, namun pengetahuan ini tidaklah cukup menghindarkan hati dari kesalahan kecuali dengan menerima pengetahuan agama melalui ajaran para nabi. Adanya pengetahuan dari wahyu ini selanjutnya memberi konsekuensi pada hati untuk melaksanakan ajaran yang ada di dalam wahyu. Di sinilah peran hati, yaitu dia juga berakal dan mampu berpikir untuk membenarkan adanya tanzil wahyu. Sebab itu, orang yang tidak yang tidak menerima wahyu Allah, berarti hatinya tidak berakal qulubun la ya’qilun atau buta mata hatinya terhadaprealitas ayat-ayat Allah ta’ma al-qulub.Kelebihan hati atas akal adalah bahwa hati mampu melihat segala hakikat kebenaran. Akal hanya bisa menangkap pengetahuan secara terbatas, yaitu pengetahuan yang hanya bersifat rasional dan empiris melalui indra dan daya nalar, sedangkan hati mampu menangkap kebenaran pengetahuan secara tidak terbatas. Kemampuan yang tidak terbatas itu diperoleh dengan dzauq atau intuisi. Dengan dzauq ini hati dapat memperoleh ilm mukasyafah yang tidak bisa dilalui lewat akal. Namun kemampuan hati ini sering dihalangi oleh kotoran yang mengendap di hati, sehingga menghalanginya untuk menangkap realitas dasarnya, hati dan akal harus saling melengkapi satu sama lain, bukan untuk memenangkan salah satunya. Seseorang yang menggunakan hati dan akalnya dengan baik akan berperliaku dengan baik. Terlebih lagi jika mengikuti Al-Quran dan hadits terbebas dari kebutaan akan kebenaran.MZM Keempat menurut Al-Ghazali, menjaga kesucian setiap anggota badan dari sesuatu yang syubhat (tidak jelas apakah ini haram atau halal). Menjaga kesucian setiap anggota badan (tangan, kaki, perut, dll) dari perkara yang syubhat, terlebih yang haram. Misalnya, mencukupkan diri dari makanan yang halal saja dan meninggalkan yang haram. vkqR.
  • rszugk8bk3.pages.dev/222
  • rszugk8bk3.pages.dev/182
  • rszugk8bk3.pages.dev/327
  • rszugk8bk3.pages.dev/400
  • rszugk8bk3.pages.dev/350
  • rszugk8bk3.pages.dev/21
  • rszugk8bk3.pages.dev/552
  • rszugk8bk3.pages.dev/211
  • hakikat kematian menurut imam al ghazali