ataupenghulu dimana tanah tersebut terletak sekiranya mana mana batu. Atau penghulu dimana tanah tersebut terletak. School University of Technology Malaysia, Johor Bahru, Skudai; Course Title REAL ESTAT SBET; Uploaded By CountJellyfish7628. Pages 126 This preview shows page 30 - 32 out of 126 pages.
MALAM itu larut. Sayup terdengar suara jangkrik beradu bunyi dengan radio tua yang mengerang. Itulah sekeping ingatan tentang dua dasawarsa lalu. Kala itu, kurun 1980-an, radio menjadi primadona yang sangat akrab. Segala aktivitas pastilah ditemani suara yang keluar dari mesin kotak itu. Apalagi ada serial Saur Sepuh. Masih ingatkah? Sandiwara radio itu merakyat, akrab di telinga masyarakat Indonesia dari segala umur. Saur Sepuh ialah sandiwara radio yang menjadi legenda terbesar dari sandiwara radio yang pernah ada di Indonesia. Saur Sepuh merupakan karya Niki Kosasih almarhum yang bercerita tentang perjalanan seorang pendekar sakti mandraguna bernama Brama Kumbara yang kelak menjadi raja di salah satu kerajaan di wilayah kulon yang bernama Madangkara. Saur Sepuh mengambil latar pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk pada zaman Kerajaan Majapahit. “Sampurasun.” “Rampes.” Dari serial itulah, sapaan sampurasun dan rampes akrab di telingga pendengar Saur Sepuh. Kalimat itu seolah menjadi lagu wajib ketika seorang dalam lakon itu bersua dengan lakon lain. Di era 80-an, serial drama radio bertema sejarah atau kerajaan, khususnya kerajaan Jawa dan Sunda, sangat populer. Ceritanya seru dan menarik sehingga membuat banyak orang betah bergerombol berlama-lama di depan radio. Lewat sandiwara radio tersebut, secara tidak langsung, saya diajak belajar mengenal beragam kearifan dan budaya yang salah satunya adalah salam sampurasun’. Salam yang terdengar bersahaja, akrab, dan enak didengar sehingga dengan cepat menjadi populer. Bukan hal yang aneh, tentu saja, ketika mengucapkannya pada masyarakat Sunda yang banyak berdiam di daerah Jawa Barat. Banyak yang menganggap sampurasun berarti permisi, sedangkan rampes artiÂnya silakan. Namun, ternyata, sampurasun tersebut memiliki arti yang jauh lebih dalam. Ucapan itu banyak memiliki versi makna, tetapi secara umum makna dari kalimat tersebut merujuk pada sebuah ucapan yang berisi kesantuan hidup, maafkanlah aku, sempurnakanlah diriku, bukakanlah pintu untukku. Dalam tulisannya, budayawan Sunda sekaligus Bupati Purwakarta Dedi MulÂyadi mengungkap sampurasun berasal dari kalimat bahasa Sunda sampurna ning ingsuh yang memiliki makna sempurnakan diri Anda’. Kesempurnaan diri ialah tugas kemanusiaan yang meliputi penyempurnaan pandangan, penyempurnaan pendengaran, penyempurnaan pengisapan, dan penyempurnaan pengucapan yang semuanya bermuara pada kebeningan hati. Pancaran kebeningan hati akan mewujud sifat kasih sayang hidup manusia. Masyarakat Sunda menyebutnya sebagai ajaran siliwangi, yakni silih asah, silih asih, silih asuh. Sempurna yang dimaksud yaitu menyempurnakan mata supaya semakin tajam penglihatannya. Menyempurnakan telinga untuk memertajam pendeÂngaran. Menyempurnakan lidah supaya tidak asal bicara yang berbuntut bisa menyakiti perasaan orang lain. Pada gilirannya, perwujudan dari nilai tersebut akan melahirkan karakter waspada. Sikap itu bukanlah sikap curiga pada seluruh keadaan, melainkan merupakan manifestasi dari perilaku welas asih. Selalu bersikap tolong-menolong pada sesama hidup. Budaya gotong royong Sikap itu juga melahirkan budaya gotong royong yang dilandasi semangat komunalitas yang bermuara pada kesamaan titik penggerak pada Sang Maha Tunggal. Ada pula pemaknaan lain. Kata sampurasun merupakan singkatan dari sampura hampura yang artinya punten. Kata itu singkatan dari abdi nyuhunkeun dihapunten saya mohon dimaafkan. Dengan demikian, ketika seseorang mengucapkan sampurasun, jawabannya tentu saja rampes yang artinya baik dimaafkan. Dalam adab dan tata kramanya, ketika sampurasun diucapkan, pengucapannya harus disertai dengan merapatkan kedua telapak tangan sambil menghadap kepada orang yang kita sapa. Berkaitan dengan usia, terdapat dua cara yang bisa dilakukan. Pertama, menghaturkan sikap sembah di depan wajah sambil menunduk. Hal itu dilakukan bila lawan sapa berusia lebih tua. Kedua, menghaturkan sikap sembah di depan dada dengan wajah menunduk. Hal itu dilakukan ketika lawan bicara berusia lebih muda. Sampurasun ialah watak peradaban yang penuh cinta kasih. Ajakan untuk mencapai kesempurnaan itu bermuara dari hati. Selalu diucapkan dari dalam hati yang paling dalam. Sampurasun merupakan kekuatan kata yang bersumber dari hati yang mungkin terucap atau mungkin tidak terucap karena dimensinya bukan saja dimensi ruang, melainkan juga dimensi luar ruang, pada langit kemuliaan diri kita, maafkanlah aku, sempurnakanlah diri, bukakan pintu hatiku. Apa pun pemaknaan sampurasun, yang jelas, kalimat itu ialah kalimat baik dan, tentu, membawa pada kebaikan. Karena itu, perlulah itu dikumandangkan sebagai salah satu bentuk ekspresi kearifan lokal. Dari situlah, Sampurasun World Ethnic Festival 2016 menjadi layak untuk diberi perhatian khususnya sebagai upaya untuk melestarikan ungkapan salam yang berbasis pada kearifan lokal. Bukan hanya melestarikan malah, melainkan juga menyiarkan agar salam khas masyarakat Sunda itu bisa dikenal. Diadakan di Purwakarta, fertival ini semoga bisa membuka mata dunia terhadap budaya Indonesia. M-2
gimananieh..kerajaan KUNTALA sdng bersenang2 & kita sdh di usir dri kerajaan kita yaitu MADANGKARA..!!..
TURUN BANTAYAN - Saur Sepuh merupakan cerita tentang perjalanan seorang pendekar sakti bernama Brama Kumbara yang kelak menjadi raja di salah satu kerajaan di wilayah selatan bernama Madangkara. dengan mengambil latar pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk pada zaman kerajaan Hindu Buddha Majapahit di Nusantara. Sinopsisnya yaitu, Seorang tokoh silat sakti mandraguna dari golongan putih Sejarah Singkat Tentang Saur Sepuh [Kerajaan Madangkara Brama Kumbara] .Ia seorang pendekar yang menguasai berbagai ilmu kesaktian. Brama secara darah masih keturunan Raja Madangkara. Ayahnya bernama Darmasalira. Kakek Astagina, guru dan juga kakek Brama ini dulunya pernah pula menjadi Raja Madangkara. Ibu Brama bernama Gayatri. Gayatri lah yang sebenarnya adalah keturunan dari trah keluarga Kerajaan Madangkara. Ayah kandung Brama tewas dibunuh oleh perampok yang akan menyerang kampung mereka Jamparing. Setelah menjanda, Gayatri diperistri oleh Tumenggung Ardalepa, seorang bangsawan dan pejabat dari Kuntala. Dari perkawinan ini, lahirlah Mantili, adik satu ibu lain ayah dari Brama. Brama akhirnya menjadi Raja Madangkara karena dia jugalah yang memimpin pergerakan nasionalis Madangkara melawan pasukan perang Kuntala. Dengan persekutuannya bersama beberapa kerajaan kecil lain yang juga menjadi jajahan Kuntala, terbentuklah pasukan perang Dewangga yang mampu menghancurkan Kuntala. Brama kecil saat suasana perang dan melarikan diri diselamatkan dan dididik langsung oleh Kakek Astagina, seorang pendekar tua sakti yang sebenarnya merupakan kakeknya sendiri dan pernah menjadi raja Madangkara. Dari kakek Astagina inilah Brama memperoleh banyak ilmu kesaktian tingkat tinggi seperti Ajian Bayu Bajra, Tapak Saketi, Tikki Ibeng, Malih Rupa dan ilmu pamungkas yang bernama Serat Jiwa sebelum akhirnya kelak setelah menjadi raja, Brama kembali menciptakan ilmu baru yang kesaktiannya diatas serat jiwa, bernama Lampah Lumpuh Guru Brama hanya seorang yaitu Kakek Astagina. Tidak ada guru lain di luar itu. Apalagi punya guru seorang wanita bernama Sekar Tanjung! Dari semua ilmu kesaktian yang dimiliki oleh kakek Astagina, hanya satu ilmu yang tidak mau diwarisi oleh Brama, yaitu aji kentut semar. Brama memiliki pedang biru yang merupakan warisan Kakek Astagina kepada Panglima Bernawa. Pedang biru ini memiliki kembaran yaitu Pedang Merah. Pedang Biru sendiri bukan pedang pusaka yang terlalu hebat seperti digambarkan dalam sinetron Brama Kumbara 2013. Pedang biru hanyalah pedang biasa yang diberikan kekuatan sakti oleh Kakek Astagina. Baca Juga kolosal rakyat 2 Tutur Tinular Manakala pedang biru dan pedang merah disatukan, keduanya akan patah. Di dalam pedang biru terdapat gulungan kertas yang berisi silsilah Raja Raja Kerajaan Madangkara dan di dalam pedang merah terdapat surat dari Kakek Astagina Raja ketiga Kerajaan Madangkara. Dari gulungan inilah kelak Brama mengetahui identitas dirinya sebagai salah satu keturunan raja Madangkara yang sah. Brama memimpin pasukan revolusi bersama dengan Gotawa dan orang-orang yang satu tujuan dengan mereka. Perjuangan kemerdekaan Madangkara ini didukung penuh oleh Tumenggung Ardalepa dan Gayatri, ayah angkat dan ibu kandung adalah seorang pejabat Guntala yang sebenarnya membenci penjajahan dan penzaliman terhadap rakyat kecil. Oleh sebab itulah, Ardalepa justru dekat dengan rakyat Madangkara. Seperti juga Ardalepa, sosok Brama sangat dekat dengan rakyat Madangkara, semua orang mengasihinya. Hubungan baiknya secara pribadi sebagai seorang pendekar dengan para tokoh rimba persilatan membuat Brama laksana sosok yang ditakuti oleh kawan maupun lawan. Begitupula hubungan diplomatik kerajaan yang ia bangun terhadap kerajaan tetangga sangat baik. Madangkara tidak pernah terlibat konflik dengan kerajaan manapun disekitarnya seperti Pajajaran, Tanjung Singguruh, Niskala, Sumedang Larang, Ajong Kidul, Selimbar, Majapahit dan sebagainya. Bahkan senopati Ranggaweni dari kerajaan Pajajaran merupakan salah satu sahabat dekatnya. Sosok Brama Kumbara sebagai seorang pejuang kemerdekaan Madangkara dibagian awal cerita sandiwara radio ini akhirnya harus berhadapan dengan kesaktian milik Tumenggung Gardika dari Kuntala. Brama kalah dalam pertarungan itu. Gardika ternyata menguasai ajian Serat Jiwa. Sebuah ajian kegidjayaan tertinggi saat itu. Sementara Brama sendiri sama sekali belum menguasainya. Dengan kondisi yang terluka parah, Brama diselamatkan oleh Rajawali raksasa sahabatnya dan ia digodok dalam Kolam Lumpur Bergolak yang terdapat di Goa Pantai Selatan. Kemudian, Di dalam Goa Pantai Selatan tersebut, Brama tidak sengaja menemukan kitab Ajian Serat Jiwa di dalam sebuah peti batu tempat yang biasa digunakan oleh Kakek Astagina bersemedi. Ajian Serat Jiwa sendiri ternyata merupakan sebuah ajian yang diciptakan oleh Kakek Astagina bersama dua orang saudara seperguruannya. Akhirnya Brama berhasil menguasai Ajian Serat Jiwa sampai tingkat 10 yang merupakan tingkat tertinggi Ajian Serat Jiwa. Gardika yang juga menguasai Ajian Serat Jiwa sampai tingkat 10 akhirnya kembali bertempur melawan Brama, tetapi dalam duel maut berikutnya itu Gardikalah yang tewas…. tubuhnya hancur menjadi tepung. Meski Ajian Serat Jiwa yang mereka gunakan ada dalam tingkatan yang sama, Brama lebih unggul berkat keputihan niatnya dalam menggunakan ilmu tersebut. Memang saat itu Kitab Ajian Serat Jiwa tersebar luas dan banyak pendekar mampu menguasainya, namun kebanyakan tidak bisa menguasai sampai tingkat tertinggi. . Misalnya diceritakan juga tentang sosok Miranti Si Kelabang Hitam yang menjadi musuh Mantili, menguasai ilmu serat jiwa hanya sampai tingkat 2, Jasiun salah seorang yang ikut memperebutkan Pedang Setan setelah dicuri Dewa Maut dan direbut oleh Ki Naga hanya sampai tingkat 4, Mantili sendiri hanya sampai tingkat 6, Harnum dan Pramitha kedua istri Brama Kumbara maupun Patih Kandara yang kelak menjabat menggantikan Patih Gotawa dijaman pemerintahan Prabu Wanapati hanya sampai tingkat 8, Soma Wikarta salah satu murid utama Mantili dari padepokan gunung wangsit hanya sampai tingkat 9. Hanya Brama, Jaka Lumayung kakak seperguruan Brama, Gardika, dan tentu saja Kakek Astagina serta dua saudara seperguruannya sendiri yang menguasai sampai tingkat 10. Nenek Lawu, guru Lasmini yang sempat menjadi musuh Brama dan Mantili, hanya menguasai intisari Ajian Serat Jiwa saja namun ia tidak menguasai ilmu serat jiwa itu sendiri. Ketika ia sudah menjadi raja Madangkara, kelak makam kakek Astagina yang ada digoa pantai selatan, dipugar oleh Brama hingga menjadi pesanggrahan. Dalam proses pembuatan pesanggrahan ini yang diketuai oleh Tumenggung Ajisanta, sempat diganggu oleh gerombolan setan merah yang merupakan orang-orang sewaan Kuntala yang dendam dengan Madangkara. Pada peristiwa itu, Brama sampai pada puncak murkanya sehingga berubah menjadi raksasa Buto Agni. Amarah Brama yang meledak-ledak atas hancurnya goa pantai selatan ini akhirnya bisa dipadamkan oleh Mantili, adik kandung Brama lain ibu, setelah ia menangis dikaki Buto Agni. Setelah peristiwa ini, pengerjaan pesanggrahan kramat di goa Pantai Selatan itu diteruskan dibawah pengawasan langsung Patih Gotawa dan Panglima Ringkin, panglima perang Madangkara. Sementara Brama Kumbara sendiri bersama Mantili mengejar pelaku perusakan. Kisah perselisihan Brama bersama tokoh-tokoh Madangkara dengan orang-orang Kuntala yang dendam atas kekalahan kerajaannya itu terus berlanjut sampai kemudian mengantarkan pertemuan Brama pada Kijara dan Lugina. Keduanya murid-murid utama Panembahan Pasupati dari gunung saba. Panembahan Pasupati adalah keturunan adipati Natasuma yang menguasai ilmu Waringin Sungsang. Sebuah ilmu kedigjayaan yang mampu mengalahkan ajian Serat Jiwa tingkat 10. Dari pertemuan ini Brama untuk kedua kalinya setelah ia melawan Gardika diawal kemerdekaan Madangkara, kembali menemui kekalahan. Tapi tidak butuh waktu lama bagi Brama untuk mendapatkan teknik mengalahkan aji Waringin Sungsang. Ia bahkan berhasil menemukan titik lemah ilmu itu. Dengan melihat pertarungan antara ular saba dan burung srigunting, dimana ular saba yang menggunakan teknik aji Waringin Sungsang berhasil dikalahkan oleh burung srigunting. Akhirnya Brama menemukan sebuah teknik. Teknik itu dinamainya ilmu Srigunting. Ilmu ini nantinya diajarkan Brama pula kepada Mantili untuk menghadapi Lugina dan Lasmini. Namun Brama tidak puas bila hanya bisa menemukan titik lemah aji waringin sungsang saja tanpa membuat orang yang menggunakannya dijalan yang salah bisa bertobat. Akhirnya, Brama menemukan ilmu baru bernama Lampah Lumpuh. Melalui ilmu inilah nantinya Brama berhasil mengalahkan orang-orang dari Gunung Saba seperti Kijara dan Lugina. Setelah kekalahan telaknya dari Brama, Kijara dan Lugina akhirnya berbalik menjadi orang-orang yang paling melindungi Brama dari semua ancaman. Terakhir keduanya diceritakan tewas terbunuh oleh Bhiksu Kampala yang datang dari Tibet untuk menjajal ilmu Brama. Setelah mewariskan singgasananya pada Wanapati, Brama kemudian mengundurkan diri ke goa pantai selatan sampai wafatnya. Tentang Rajawali Sakti Burung Rajawali raksasa ini dikenal sewaktu Brama masih kecil, ketika digembleng oleh Kakek Astagina di Gua Pantai Selatan. Ketika Brama bersama Kakek Astagina sedang berbincang di tepi pantai, mereka dikejutkan oleh kedatangan seekor rajawali raksasa yang terbang melintas di depan mereka. Sejak pertama jumpa itu, Brama sudah jatuh cinta’ dan ingin terbang naik rajawali. Tentu saja itu tak ditanggapi serius oleh Kakek Astagina, “Ya, moga-moga saja rajawali itu mau membawamu terbang….” katanya; tetapi sekaligus Kakek pun memperingatkan agar jangan membuat masalah dengan binatang besar dan kuat itu karena bisa berbahaya. Beberapa kali mereka melihat rajawali itu melintas. Suatu ketika karena saking penasarannya, Brama yang sudah bertambah besar itu bersuit memanggil rajawali itu. Rajawali cilingukan, lalu datang menyerang. Terjadi pertarungan sengit dan kemudian Brama menclok’ di punggung rajawali itu dibawa terbang tetapi tetap kokoh bertahan. Akhirnya Rajawali itu menyerah’… ia tak lagi menyerang, lalu pergi setelah terbang berputar tenang seolah memberi penghormatan. Sejak itu pun mereka bersahabat… Brama dapat memanggil rajawali dengan suitannya dan Rajawali itu pun menjadi tunggangannya. Disini kisah pertemuan Brama dan burung rajawalinya itu memiliki kemiripan dengan versi sinetron versi 2013, hanya saja disana sosok Kakek Astagina diubah menjadi Sekar Tanjung. Di kemudian hari, dalam tapa semedinya, Brama mengenali Rajawali Saktinya itu sebagai titisan Dewa Brahma. Brama pernah memberikan sebuah kendi wasiat pada Bongkeng, salah satu abdi terbaik Mantili. Dimana ketika kendi itu dilempar, akan bermunculan rajawali-rajawali kecil yang bisa menyelamatkan Bongkeng dari bahaya. Tokoh JAKA LUMAYUNG Ini adalah kakak seperguruan Brama. Jaka Lumayung merupakan putra dari Ki Arya Gandar Sametan yang merupakan saudara seperguruan Kakek Astagina, guru Brama. Jaka Lumayung ini kemudian hari, mendirikan dan memimpin Padepokan Serat Jiwa di kerajaan Pajajaran. Ia pernah datang bersama Brama ke Gunung Saba untuk menjajal Ajian Waringin Sungsang pada Panembahan Pasupati, guru dari Kijara dan Lugina, dan hasilnya, Jaka Lumayung kalah. Brama kemudian menemukan Ilmu Lampah-Lumpuh di perguruan milik Jaka Lumayung ini, Jaka Lumayung juga yang dengan setia merawat Brama dalam proses penciptaan ilmu barunya itu di Pajajaran. Dibawah pengawasan Jaka Lumayung, Brama bersemedi seraya berpuasa selama 40 hari lamanya. KELABANG HITAM Nama aslinya adalah Miranti. Dia adalah musuh besar Mantili waktu muda. Miranti pernah mengobrak-abrik Padepokan Gunung Wangsit milik Mantili dan mencuri Kitab Ajian Serat Jiwa di perguruan itu dengan bersekongkol dengan murid Mantili yang bernama Soma Wikarta. Mantili pernah dihajar kalah oleh Kelabang Hitam dengan Ajian Serat Jiwa tingkat 2. Dalam pertarungan itu, Mantili nyaris tewas. Ia diselamatkan oleh Jaka Lumayung, kakak seperguruan Brama Kumbara. Dibawah asuhan Jaka Lumayung, Mantili lalu memperdalam Ajian Serat Jiwanya sampai tingkat 3, dan dengan ilmu itu akhirnya ia dapat membinasakan Si Kelabang Hitam. Sampai akhir hidupnya, Mantili menguasai Ajian Serat Jiwa hanya sampai tingkat 6 saja, terakhir ia menggunakan ilmu ini ketika berhadapan dengan Mariba, seorang pendekar dari Gunung Saba yang hendak memperkosa dan mengambil pedang setan miliknya. Mantili juga pernah dikalahkan oleh Kijara dan Lugina yang memiliki ilmu Waringin Sungsang. KANDARA Ia orang Guntala yang berhasil menyusup ke Madangkara dan menjadi pejabat di sana, bahkan sampai menjadi Patih di Madangkara pada generasi kedua yaitu setelah Brama mangkat dan digantikan oleh putra kandungnya dari Harnum yang bernama Wanapati. Kandara mengadu domba Prabu Wanapati dengan Pangeran Paksi Jaladara, putra Mantili dan Gotawa. Sempat terjadi perang saudara di antara keduanya. Untung bisa didamaikan oleh Raden Bentar dan Garnis, dua anak angkat Brama dari istri keduanya, Pramitha. Patih Kandara ini menguasai Ajian Serat Jiwa Sampai tingkat ke 8. Kandara akhirnya tewas melawan Soma Wikarta, mantan murid Mantili yang pernah berkhianat dimasa Klabang Hitam, yang menguasai Ajian Serat Jiwa sampai tingkat 9. Itulah beberapa sinopsis yang kami ambil dalam garis besarnya saja perjalanan kisah dari seorang tokoh sakti mandraguna yang bernama Brama Kumbara, Nara Sumber; Wikipedia
JloQH.